Catatan Perjalanan 21-25 Desember 2015: Erupsi Eksplosif Maninjau Purba
Gambar
1. Pemandangan Danau Maninjau dari sisi barat. Danau Maninjau terletak di
Kabupaten Agam, Sumatera Barat, mempunyai luas 20 km x 8 km dengan volume air
mencapai ~100 km3.
Liburan
sekolah semester ganjil emang paling asyik, padahal waktunya cuma tiga
mingguan, bersamaan pula dengan datangnya musim penghujan yang membuat suasana
semakin sendu. Suasana yang aku banget, hehe. Alunan instrumen "A Sky Full
of Stars" yang dimainkan dengan piano dan cello oleh grup musik Piano Guys
menemani perjalananku ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Perjalanan 27 jam
ditempuh dari Medan menuju Bukittinggi dengan bus NPM, hingga tiba tepat pada
pukul 10 pagi tanggal 22 Desember 2015.
Gambar
2. Rute perjalanan Medan-Bukittinggi yang berjarak sekitar 670 km.
Karena
belum sempat sarapan pagi, aku berkeliling untuk mencari makanan, kebetulan
ketemu warung sate padang di kawasan Jam Gadang, jaraknya tidak jauh dari
penginapan di Jalan Kolonel Yos Sudarso. Hari pertama di Bukittinggi, aku
mengunjungi Benteng Fort De Kock, Museum Zoologi, dan berkeliling di Pasa Ateh
(Pasar Atas).
Gambar
3. Benteng Fort De Kock yang berada di Jalan Kolonel Yos Sudarso, Kota
Bukittinggi. Benteng ini menjadi saksi bisu pertempuran Belanda dengan
masyarakat Minangkabau pada periode 1821-1837.
Gambar
4. Museum Zoologi Bukittinggi yang tepat berada di seberang Benteng Fort De
Kock. Museum ini memiliki berbagai koleksi hewan, baik yang hidup, maupun
diawetkan.
Hari
pertama berlalu, sambil mempertimbangkan destinasi mana yang akan dikunjungi di
hari berikutnya. Dengan segala pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk
pergi ke Danau Maninjau di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Pagi hari menyambut,
perjalanan dimulai dari Pasar Bawah dengan menggunakan angkutan umum jurusan
Bukittinggi-Lubuk Basung yang berjalan menanjak menjauh ke arah barat Kota
Bukittinggi.
Gambar
5. Rute perjalanan Bukittinggi-Danau Manijau yang berjarak sekitar 50 km.
View yang
ditawarkan di sepanjang perjalanan sangat memanjakan mata, baru sejenak keluar
dari Kota Bukittinggi, langsung disambut ramah oleh indahnya hamparan
perbukitan dan Gunung Api Singgalang, sebuah gunung api Kuarter tipe A yang
meletus terakhir kali pada tahun 1924. Gunung ini mempunyai tipe strato dengan
ketinggian 2877 mdpl dan produk dominan andesit, terpetakan sebagai satuan Qast
yang diseragamkan dengan produk Gunung Tandikat di bagian selatan pada Peta
Geologi Lembar Padang (Kastowo dkk., 1996).
Gambar
6. Citra satellite Gunung Singgalang yang berlokasi di Kabupaten Agam, Sumatera
Barat. Penulis tidak mempunyai dokumen foto terkait gunung ini, sehingga gambar
yang digunakan adalah citra satellite yang diambil via Google Earth.
Gambar
7. Peta Geologi Lembar Padang (Kastowo dkk., 1996). Peta ini memuat produk
Singgalang yang diseragamkan dengan Tandikat yang berada didekatnya. Satuan
produk Singgalang diberi kode Qast yang disusun oleh lithologi andesit.
Berlalu
1,5 jam di perjalanan, jalanan mendaki kini mulai menurun, berbelok menuruni
kelok "ampek-ampek" (empat puluh empat). Yap, memang ada 44 jumlah
kelokan yang harus dilalui dengan jarak antar kelokan yang tidak begitu jauh.
Jalanan yang mulai menurun ini menandakan mulai memasuki kawasan Maninjau,
sebuah danau yang merupakan bagian dari sistem kaldera yang terbentuk oleh
mekanisme letusan eksplosif Gunung Maninjau pada 50.000 tahun silam, atau
24.000 tahun lebih muda dari erupsi supervulkano Toba.
Gambar
8. Citra satellite Danau Maninjau yang terlihat menempati sebuah kaldera
berbentuk lonjong dengan arah N-S. Danau Maninjau terletak di Kabupaten Agam,
Sumatera Barat.
Hasil
estimasi material letusan Maninjau diperkirakan berkisar antara 220-250 km³ dan
tersebar pada radius lebih dari 75 km. Hasil estimasi ini sangat berbading jauh
dengan Toba, erupsi Toba pada fase YTT mampu menghasilakan 2800 km³ material
piroklastik yang tersebar ke seluruh dunia.
Gambar
9. Sekuen produk erupsi Maninjau yang tersebar di berbagai lokasi memberikan
gambaran mekanisme dan perhitungan total material yang dihasilkan selama
pembentukan kaldera (Pribadi dkk., 2007).
Meski
demikian, erupsi yang dihasilkan Maninjau tergolong cukup eksplosif dan
merusak. Kaldera Maninjau mempunyai ukuran 34,5 km x 12 km dengan ketinggian
dinding kaldera sekitar 450 m dan titik terdalamnya berada pada -157 m (diukur
dari permukaan danau). Kawasan Maninjau disusun oleh batuan berumur Karbon
sampai Kuarter. Formasi Kuantan yang mempunyai lithologi filit dan batu gamping
menjadi batuan tertua yang tersingkap pada kawasan ini. Sebaran produk Maninjau
terpetakan dalam dua satuan, yakni andesit Maninjau (Qamj) dan ignimbrit
Maninjau (Qpt).
Gambar 10. Peta Geologi Maninjau
(Harahap & Abidin, 2006, dimodifikasi dari Kastowo dkk., 1996). Peta ini
memuat produk vulkanik Maninjau yang dibagi dalam dua satuan, yakni andesit
Maninjau (Qamj) dan ignimbrit Maninjau (Qpt) dengan masing-masing lithologi
berupa lava andesit dan batu apung (ditafsirkan sebagai ignimbrit). Kaldera
Maninjau ditunjukkan oleh garis hitam melingkar yang melingkupi Danau Maninjau.
Kedua
satuan ini dapat menjadi gambaran vulkanisme Maninjau secara episodik, dimana
satuan andesit Maninjau merepresentasikan fase pre-caldera, sedangkan satuan ignimbrit Maninjau merepresentasikan
fase syn-caldera. Usia satuan andesit
Maninjau menunjukkan angka 0,8 jt tahun radiokarbon (Aspden dkk., 1982),
sedangkan satuan ignimbrit Maninjau terasosiasi pada rentang 0,049-0,051 jt
tahun radiokarbon (Pribadi dkk., 2007).
Satuan
andesit Maninjau tersusun oleh lava andesit dengan sedikit tuf riolit yang
masing-masing mempunyai rentang komposisi SiO2 54-60 % dan 69 %. Lava tersebut mempunyai tekstur
porfiritik dengan fenokris plagioklas, klinopiroksen, ortopiroksen, dan sedikit
kuarsa yang tertanam dalam massa dasar gelas vulkanik (Harahap & Abidin,
2006). Pada beberapa lokasi, lava dari satuan andesit Maninjau menunjukkan
struktur sheeting joint.
Gambar
11. Singkapan lava andesit Maninjau dengan struktur sheeting joint yang berada di kawasan Kelok 44 (Harahap &
Abidin, 2006). Singkapan ini memperlihatkan tekstur afanitik saat dilakukan
pengamatan makroskopis.
Gambar
12. Hasil pengamatan mikroskopis cross
nichol lava andesit Maninjau (Harahap & Abidin, 2006). Terlihat lava
tersebut menunjukkan tekstur porfiritik dengan fenokris berupa plagioklas,
klinopiroksen, dan ortopiroksen dan massa dasar gelas vulkanik.
Satuan
andesit Maninjau yang mewakili fase pre-caldera
memberi arti tersendiri dalam menceritakan erupsi efusif gunung ini sebelum
memasuki fase menghancurkan pada 0,75 jt tahun setelahnya. Fase menghancurkan (syn-caldera) diwakili oleh satuan
ignimbrit Maninjau yang disusun endapan aliran piroklastik dengan fragmen batu
apung dan lithik berkomposisi dasit hingga riolit.
Gambar
13. Fragmen batu apung yang terkandung dalam ignimbrit Maninjau (Pribadi dkk.,
2007). Sampel P1 sampai P5 mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. P1
berwarna abu-abu berserat, P2 berwarna putih, P3 berwarna abu-abu dengan
sedikit mineral hitam, P4 berwarna abu-abu dan mengandung banyak mineral hitam,
dan P5 berwarna putih padat. Masing-masing karakteristik ini dapat memberi
gambaran proses pembentukan dari tiap fragmen.
Satuan
ini memiliki ketebalan mencapai lebih dari 100 m di beberapa lokasi. Pribadi
dkk. (2007) membagi satuan ignimbrit Maninjau dalam 3 fasies berdasarkan jarak
sebarannya terhadap pusat erupsi, yakni fasies proksimal (<10 km), fasies
medial (10-30 km), dan fasies distal (>30 km), dengan asumsi bahwa fasies
central adalah wilayah yang saat ini telah menjadi kaldera. Masing-masing
fasies memberi ciri khas endapan tersendiri.
Fasies
proksimal dicirikan oleh melimpahnya fragmen lithik dan batu apung berukuran
besar (± 40 cm) yang terpilah buruk, struktur pipa gas dan sisa arang kayu juga
ikut hadir pada fasies ini. Fasies medial dicirikan oleh kehadiran dua satuan
ignimbrit homogen yang dipisahkan oleh lapisan base-surge dan susunan batu apung berukuran sedang hingga kecil (±
5 cm) dengan pemilahan baik membentuk struktur normal-graded dan cross-bedding.
Fasies distal dicirikan oleh endapan rombakan dengan struktur pipa gas dan
kumpulan sisa arang kayu berbentuk log dengan tren dominan N 83° E.
Gambar
14. Contoh singkapan ignimbrit Maninjau yang tersebar dari zona fasies
proksimal hingga distal (Pribadi dkk., 2007). Struktur pipa gas dan arang kayu
dengan fragmen batu apung berukuran besar tersebar pada fasies proksimal (kiri
atas), lapisan base-surge dengan
struktur normal-graded dengan
pemilahan baik dan ukuran butir dari halus hingga sedang tersebar pada fasies
medial (kanan atas), dan endapan rombakan mengandung arang kayu dengan tren
dominan N 83° E tersebar pada fasies distal (bawah).
Temuan
tipe-tipe endapan ignimbrit ini kemudian direkonstruksi untuk mendapatkan
mekanisme letusannya secara detail. Komposisi produk yang didominasi dasit
hingga riolit pada fase syn-caldera
menggambarkan adanya kemungkinan terdapat sumbat lava berupa dome di sekitar kepundan, tahapan awal
dimulai dengan pembukaan sumbat lava, dilanjutkan dengan runtuhnya kepundan
bagian atas hingga menghasilkan arus turbulen yang membentuk endapan base-surge, kemudian disusul oleh aliran
ignimbrit.
Kehadiran
aliran ignimbrit ini menjadi tanda dimulainya pembentukan kaldera. Selanjutnya,
terjadi letusan puncak yang menghasilkan produk ignimbrit kaya fragmen lithik.
Fragmen lithik berasal dari penggerusan batuan pada dinding kamar magma dan
pipa kepundan. Pada tahap ini, tubuh Gunung Maninjau mulai runtuh, kemudian
berangsur mencapai tahap kesetimbangan dengan intensitas erupsi yang menurun.
Akhirnya terbentuklah Kaldera Maninjau yang lambat laun terisi air dan menjadi
danau.
Gambar
15. Hasil rekonstruksi mekanisme erupsi syn-caldera
Maninjau (Pribadi dkk., 2007). Erupsi diawali oleh pembukaan kepundan
dengan kolom erupsi yang tidak begitu tinggi (A), dilanjutkan dengan keruntuhan
kepundan bagian atas yang menghasilkan aliran base-surge (a), disusul
oleh aliran ignimbrit (b) menandai awal terbentuknya kaldera (B), letusan
puncak terjadi dengan keruntuhan tubuh Gunung Maninjau, diikuti dengan
kehadiran ignimbrit kaya fragmen lithik (c) sebagai akibat dari efek
penghancuran pada kepundan dan kamar magma (C), proses erupsi mereda dan mulai
mencapai kesetimbangan (D).
Kembali ke ceritaku tadi, setelah mengitari
hampir setengah kawasan kaldera, akhirnya sampai di sisi barat Danau Maninjau.
Angkutan umum yang kunaiki berhenti sekitar 200 m melewati SMAN Agam Cendekia,
di kawasan ini banyak terdapat tempat untuk bersantai. Aku mengunjungi satu
dari sekian banyak cafe di kawasan Maninjau ini.
Udara
yang sejuk membuat perut terasa lapar. Karena sudah memasuki waktu makan siang,
aku langsung menyantap perbekalan yang dibawa dari Bukittinggi ditambah
semangkuk Indomie yang dipesan langsung di tempat tersebut. Setelah santap
siang, aku berkeliling sejenak dengan motor boat
di Danau Maninjau. Saat itu ada sekitar 4 orang di dalam boat, biayanya Rp. 100.000 untuk sekali
jalan.
Gambar
16. Pemandangan Danau Maninjau yang diambil tepat di belakang tempat
persinggahan penulis saat mengunjungi danau tersebut pada tanggal 23 Desember
2015.
Gambar
17. Deretan dinding kaldera yang mengepung kawasan Danau Maninjau, foto diambil
saat berkeliling dengan motor boat di
Danau Maninjau.
Selesai
naik boat, angkutan umum yang
sebelumnya kutumpangi sudah menunggu di tempat pemberhentian. Akupun bergegas
menuju angkutan umum tersebut untuk kembali ke Bukittinggi. Sampai di
Bukittinggi, waktu sudah menunjukkan pukul 15:00, aku kembali ke penginapan
untuk mandi dan sholat.
Pukul
16:00 aku kembali berjalan menikmati suasana sore di Kota Bukittinggi,
mengunjungi Lobang Jepang dan Taman Panorama yang masih berada dalam satu
kompleks. Taman Panorama menyajikan keindahan alam Ngarai Sianok dari atas
ketinggian. Sekadar tambahan informasi, Ngarai Sianok ini cukup terkenal di
kalangan ahli geologi. Ngarai ini memberi evidence
mengenai evolusi tektonik Pulau Sumatera. Secara umum kawasan Ngarai Sianok
disusun oleh produk gunung api yang masih berkaitan dengan letusan Maninjau,
Singgalang, dan Marapi dan merupakan zona tektonik aktif yang dipotong oleh
Sesar Besar Sumatera.
Gambar
18. Lorong masuk Lobang Jepang yang berada di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Lobang Jepang pernah digunakan pleh tentara Jepang sebagai bunker perlindungan. Lobang ini selesai dibangun pada Juni 1944
dengan mempekerjakan paksa para transmigran yang berasal dari Jawa, Kalimantan,
dan Sulawesi.
Gambar
19. Pemandangan Ngarai Sianok yang terlihat dari Taman Panorama, Bukittinggi.
Ngarai ini mempunyai pola kelurusan yang dibentuk oleh Sesar Besar Sumatera
yang memanjang dari Aceh hingga Lampung.
Haripun
mulai senja, aku kembali ke penginapan untuk beristirahat. Keesokan harinya
adalah hari terakhirku liburan di Bukittinggi. Kegiatan yang dilakukan hanya
berbelanja di kawasan Pasa Ateh dan bersiap-siap untuk kembali ke Medan. Pukul
15:00 aku mulai berangkat dengan bus PMH dari Terminal Aur Kuning, kemudian
tiba di Medan pada pukul 15:00 tanggal 25 Desember 2015.
Gambar
20. No caption. Hanya visualisasi
keadaan saaat itu, bukan sekarang.
Semoga
tulisan kali ini bermanfaat. Sebenarnya blog ini diperuntukkan khusus membahas
mengenai keanekaragaman geologi Sumatera Utara, tapi karena penulis bingung
mencari topik yang akan dibahas. Dengan terpaksa penulis beralih sejenak ke
provinsi tetangga. Sekian dulu.
Sumber:
-Harahap,
B. H. & Abidin, H. Z. (2006). Petrology of Lava From The Maninjau Lake,
West Sumatera. Journal of Geo-Resource
JSDG 16 (6), November 2006.
-Kastowo
dkk. (1996). Peta Geologi Lembar Padang, Sumatra, Skala 1: 250.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi: Bandung.
-Pribadi
dkk. (2007). Mekanisme Erupsi Ignimbrit Kaldera Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Geologi Indonesia 2 (1): 31-41,
Maret 2007.
Hallo gaes
BalasHapusLuar biasa Danau meninjau dibahas sangat detail ini menambah pengetahuan baru saya dan anak, terimakasih saudara tobarhyolitetuff
BalasHapusIzin bertanya kak, itu kan pengalaman kakak liburan tahun 2015. Bagaimana kakak masih ingat secara jelas kondisi bebatuan di sana dan menjelaskannya secara mendetail kak? Terima kasih sebelumnya
BalasHapusIzin menjawab, Cerita di atas saya hubungkan antara perjalanan saya ke Danau Maninjau 5 tahun silam dengan jurnal-jurnal ilmiah yang saya kumpulkan sekarang. Terkait informasi kondisi batuannya, semua saya ceritakan ulang berdasarkan jurnal yang tersedia. Bagaimana bisa saya mengingat batuan di sana, sedangkan saya waktu itu belum menjadi mahasiswa geologi
HapusAnjay markijay mantap
BalasHapus