Pendahulu Dinosaurus dari Dasar Sumatera Utara

Gambar 1. Ilustrasi morfologi conodont yang direkonstruksi berdasarkan temuan fosilnya (Terrill dkk., 2017). Conodont merupakan hewan laut yang hadir di bumi pada 542 jt tahun silam dan punah pada 200 jt tahun silam. Tubuhnya memiliki panjang antara 0,2-6 mm dan mengandung mineral apatit (Ca3(PO4)2). Beberapa spesies dari hewan ini berperan sebagai fosil indeks dalam menentukan umur relatif pada lapisan sedimen berumur Kambrium hingga Trias di seluruh dunia.

 

Fosil merupakan objek yang sangat penting dalam geologi. Kehadirannya pada lapisan sedimen memberi banyak informasi terkait kondisi bumi di masa lalu. Penyusunan skala waktu, interpretasi paleo-environment, korelasi batuan, bahkan sampai eksplorasi migas dan batubara tidak terlepas dari peran fosil. Persebaran fosil di Indonesia merupakan hal yang menarik untuk dibahas, hal ini tidak terlepas dari kompleksitas evolusi geologi Indonesia yang cukup rumit.

Setiap lapisan batuan di Indonesia mempunyai ceritanya masing-masing, salah satunya adalah formasi batuan dasar penyusun bagian utara Pulau Sumatera. Batuan dasar ini dikenal sebagai Grup Tapanuli yang dibagi dalam tiga formasi, yakni Bahorok, Kluet, dan Alas berusia Perem-Karbon (346-254 jt tahun). Penentuan usia ini didasarkan pada kehadiran fosil hewan laut berupa koral, crinoid, alga, brachiopoda, dan bryozoa yang terasosiasi pada zaman tersebut.

Gambar 2. Stratigrafi batuan Pra-Tersier di kawasan Sumatera Utara (Cameron dkk., 1980 dalam Bahesti, 2017). Grup Tapanuli (garis merah) terlihat menempati umur Perem-Karbon dan menjadi batuan sedimen tertua yang teridentifikasi di bagian utara Pulau Sumatera. Batuan dari grup ini mengandung banyak fosil hewan laut, seperti koral, crinoid, alga, brachiopoda, dan bryozoa.

 

Bukan hal yang aneh jika formasi batuan dasar Pulau Sumatera cukup kaya akan organisme laut, hal ini berhubungan dengan sejarah geologinya di masa lalu dimana sebagian Pulau Sumatera merupakan bagian dari tepian kontinen Gondwana yang digenangi air laut. Bahkan, sebagian batuan dasar ini (Formasi Bahorok) menunjukkan adanya bukti lingkungan pengendapan glasial yang hanya dapat terbentuk pada iklim kutub (cerita lain mengenai evolusi batuan dasar Pulau Sumatera pernah dimuat dalam blog sebelumnya, kunjungi https://tobarhyolitetuff.blogspot.com/2020/06/mengenang-nenek-moyang-gunung-api-di.html).

Gambar 3. Singkapan Formasi Bahorok yang berada di daerah Bahorok, Sumatera Utara (Bahesti, 2017). Formasi ini mempunyai lithologi dominan meta-pebbly mudstone yang terbentuk pada lingkungan laut glasial.

 

Identifikasi batuan di Sumatera Utara dilakukan secara resmi pertama kali pada tahun 1980, atas kerja sama Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung dengan Institute of Geological Sciences of Great Britain dalam program pemetaan geologi nasional. Hasil pemetaan ini meletakkan posisi stratigrafi Formasi Alas berada di atas Formasi Bahorok dan Kluet. Peletakan ini didasarkan pada temuan fosil koral Allotropiophyllum sinense Grabau pada singkapan Formasi Alas di tepi Sungai Alas, Lau Pakam, Kabupaten Karo (Cameron dkk., 1980).

Gambar 4. Peletakan stratigrafi Formasi Bahorok (Pub) dan Formasi Kluet (Puk) yang berada di bawah Formasi Alas (Ppa) dalam Peta Geologi Lembar Medan (Cameron dkk., 1982). Peta geologi ini merupakan hasil pemetaan geologi nasional dari tahun 1980, belum ada pembaruan peta dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung hingga saat ini.

 

Gambar 5. Contoh spesimen fosil koral genus Allotropiophyllum dari zaman Perem (https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Clitheroe_museum_limestone_bearing_fossils_8511.JPG). Allotropiophyllum sinense Grabau merupakan salah satu spesies dari genus Allotropiophyllum. Spesies koral jenis ini hidup pada 279-269 jt tahun silam.

 

 Temuan ini memberi indikasi bahwa Formasi Alas mempunyai usia Perem Bawah (300-270 jt tahun) atau lebih muda dari Formasi Bahorok dan Kluet yang berusia Karbon (346-300 jt tahun). Namun, penyusunan ini dinilai rancu, karena pada lokasi yang sama ditemukan fosil brachiopoda Cleiothyridina dan Marginatia yang mengindikasikan umur Visean (346-330 jt tahun), sehingga dibutuhkan kelompok fosil lain untuk memastikan umur relatif dan posisi stratigrafi Formasi Alas.

Gambar 6. Contoh spesimen fosil brachiopoda genus Cleiothyridina (B dan C, atas) (Sun & Balinski, 2011) dan genus Marginatia (A sampai C, bawah) (Martinez dkk., 2018) dari zaman Karbon.

 

Metcalfe (1983) mengusulkan agar Formasi Alas diletakkan di bawah Formasi Kluet dan Bahorok atau disejajarkan dengan bagian bawah Formasi Kluet. Usulan ini didasarkan pada temuan fosil Conodont Gnathodus girtyi rhodesi Higgins, Spathognathodus campbelli Rexroad, dan Spathognathodus scitulus (Hinde) pada singkapan yang sama di Lau Pakam. Temuan fosil conodont ini memberi indikasi umur Visean Akhir (± 330 jt tahun silam). Umur Visean merupakan bagian dari Zaman Karbon Bawah, sehingga Metcalfe berpendapat bahwa Formasi Alas adalah batuan tertua yang tersingkap di Sumatera Utara.

Gambar 7. Contoh spesimen fosil conodont spesies Gnathodus girtyi rhodesi Higgins (8, 9, 10, dan 14), Spathognathodus campbelli Rexroad (11), dan Spathognathodus scitulus (Hinde) (26, 27) berumur Visean Akhir (http://www.kgs.ku.edu/Publications/Bulletins/192/08_plates.html).


Gambar 8. Beberapa lokasi pencarian conodont berumur Visean Akhir di Pulau Sumatera (Metcalfe, 1983). Fosil conodont ditemukan di lokasi 1 dan 2, yakni di daerah Lau Pakam dan Batang Agam. Conodont dari Formasi Alas ditunjukkan oleh panah pada lokasi 1.

 

Metcalfe (1986) juga mengoreksi hasil identifikasi fosil koral di Lau Pakam yang sebelumnya dilaporkan dalam Cameron dkk. (1980) sebagai Allotropiophyllum sinense Grabau, kemudian diubah menjadi Zaphrentites sp. Hasil koreksi ini konsisten dengan usia brachiopoda dan conodont di lokasi tersebut yang terasosiasi pada umur Visean. Meskipun fosil-fosil dari Formasi Alas ini dinilai cukup kuat untuk menetapkannya sebagai urutan terbawah dalam stratigrafi Sumatera Utara. Namun, belum ada koreksi pada beberapa peta geologi yang memuat Grup Tapanuli di dalamnya.

Gambar 9. Contoh spesimen fosil koral Zaphrentites sp. berumur Visean koleksi Museum National D’Histoire Naturelle (Dok. Doitteau, 2018).

 

Selain penentuan umur dan posisi stratigrafi, temuan fosil dari dasar Sumatera Utara ini juga berperan dalam pemodelan korelasi lithologi dengan batuan dasar di Malaysia, Thailand, dan Myanmar. Metcalfe (1983) menghubungkan Grup Tapanuli di Sumatera Utara dengan Formasi Kubang Pasu dan Singa di Malaysia, Grup Ratburi di Thailand, dan Grup Mergui di Myanmar. Semua formasi tersebut diendapkan di laut dan mempunyai kesamaan usia relatif, serta membentuk mikrokontinen yang disebut sebagai West Malaya Block (After Stauffer, 1974 ; Ridd, 1980).

Gambar 10. Model korelasi lithologi West Malaya Block berumur Karbon yang disusun berdasarkan kesamaan umur relatif dari kandungan fosil pada tiap lokasi di Sumatera Utara, Malaysia, Myanmar, dan Thailand (Metcalfe, 1983). Semua formasi ini menunjukkan indikasi pembentukan di lingkungan laut, baik normal maupun glasial. Hal ini mempertegas posisi blok ini di masa lalu yang menjadi bagian tepi kontinen Gondwana yang tergenang oleh air laut.

 

Gambar 11. Komponen blok penyusun Asia Tenggara bagian barat. Kawasan Sumatera, sebagian Malaysia, Myanmar, dan Thailand diinterpretasi sebagai West Malaya Block (After Stauffer, 1974 ; Ridd, 1980). Pembagian blok ini kemudian mengalami perkembangan dari masa ke masa seiring dengan semakin intensifnya penelitian terkait tektonik di kawasan Asia Tenggara.

 

Formasi Alas diperkirakan terbentuk pada continental-shelf, hal ini dibuktikan dari melimpahnya kehadiran batu gamping dengan struktur cross-bedding, oolite, dan fauna benthonik dari laut dangkal. Adapun Formasi Kluet yang diendapkan di atas Formasi Alas diinterpretasikan sebagai endapan turbidit yang diperkirakan terbentuk pada lingkungan laut yang lebih dalam.

Gambar 12. Ilustrasi posisi continental-shelf dalam suatu paparan tepi benua (Solangi dkk., 2018).

 

Kehadiran fosil fauna laut berumur Karbon Bawah di Formasi Alas menjadikannya sebagai fosil tertua yang pernah ditemukan di Sumatera Utara, bahkan usianya lebih tua dari kemunculan awal dinosaurus pada Zaman Trias (dimulai 252 jt tahun silam). Kepulauan Indonesia masih didominasi lautan pada Zaman Trias, hal inilah yang menjadi alasan kuat mengapa tidak pernah ditemukan fosil dinosaurus di negara kita. Sekian dulu, semoga bermanfaat.

 

Sumber:

-Bahesti, F. (2017). Paleozoic-Mesozoic and Eocene Outcrops in the North Sumatra Basin and their Implication to New Exploration Play Concept, Berita Sedimentologi 37, Februari 2017; p. 14-22.

-Cameron dkk. (1980). The geological evolution of Northern Sumatra Proceedings of the 9th Annual Convention, Indonesian Petroleum Association, p. 149-187.

-Cameron dkk. (1982). Peta Geologi Lembar Medan, Sumatra, Skala 1: 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

-Martinez dkk. (2018). Carboniferous brachiopods (Productida and Orthotetida) from Santiago

Ixtaltepec, Oaxaca, Southern Mexico. Revista Brasileira de Paleontologia, 21(1):3–16, Janeiro / April 2018. doi:10.4072/rbp.2018.1.01.

-Metcalfe, I. (1983). Conodont faunas, age and correlation of the Alas Formation (Carboniferous), Sumatra. Geol. Mag., 120, pp. 579-586.

-Metcalfe, I. (1986). Conodont biostratigraphic studies in Sumatra: Preliminary results. GEOSEA V Proceedings Vol. II, Geol. Soc. Malaysia , Bulletin 20, Agustus 1986; pp. 243-247.

-Ridd, M. F. (1980). Possible Palaeozoic drift of S.E. Asia and Triassic collision with China. J. geol. Soc. Lond. 137, 635-40.

-Solangi dkk. (2018). Morphological features of continental shelf margin: Examples from the Pakistan Offshore. Geodesy and Geodynamics 10 (2019) 77-91.

-Stauffer, P.H. (1974). Malaya and Southeast Asia in the pattern of continental drift. Bull. Geol. Soc. Malaysia, 7, 83_138.

-Sun, Y. and BaliƄski, A. (2011). Silicified Mississippian brachiopods from Muhua, southern China: Rhynchonellides, athyridides, spiriferides, spiriferinides, and terebratulides. Acta Palaeontologica Polonica 56 (4): 793–842.

-Terrill dkk. (2017). New applications of spectroscopy techniques reveal phylogenetically significant soft tissue residue in Paleozoic conodonts. J. Anal. At. Spectrom. DOI: 10.1039/c7ja00386b.

https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Clitheroe_museum_limestone_bearing_fossils_8511.JPG

http://www.kgs.ku.edu/Publications/Bulletins/192/08_plates.html

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Emas di Belantara Hutan Banurea, Sisa Gunung Api Purba yang Terlupakan

Sibayak dan Segala Kenangannya: Sepenggal Kisah Mengenai Kaldera Singkut.

Catatan Perjalanan 21-25 Desember 2015: Erupsi Eksplosif Maninjau Purba