Geowisata: Bersantai, Mengenang, dan Menjauh Sejenak dari Rutinitas (Tigaras, Simalungun, Sumatera Utara | 24-25 Desember 2019 | 2°47'54.0"N 98°47'03.0"E | Cuaca Berawan | Temperatur 294-298 K).

Gambar 1. Rute perjalanan yang dilalui dari Medan ke Hotel Garoga, Tigaras, Sumatera Utara.

Perjalanan 163 km ditempuh dari Kota Medan menuju Hotel Garoga di daerah Tigaras, Simalungun, Sumatera Utara. Singgah sejenak di Bah Butong untuk bersantap siang ditemani hamparan kebun teh yang tumbuh di atas tanah subur hasil pelapukan dari material vulkanik gunung api purba di sekitarnya (Toba Purba, Dolok Singgalang, Dolok Simbolon, dsb).
Gambar 2. Pemandangan Kebun Teh Bah Butong, Sidamanik dengan latar belakang Gunung Api Purba Dolok Simbolon.

Selepas santap siang, perjalanan dilanjutkan ke Tigaras. Saat memasuki Kawasan Tigaras, saya disambut oleh dua buah outcrop di kanan dan kiri jalan. Terdapat lava andesite di sebelah kanan jalan dan endapan piroklastik jatuhan lapuk di sebelah kiri jalan. Posisi kedua outcrop ini tepat berada di 2°48'37"N 98°47'10.9"E yang termasuk dalam bagian Formasi Haranggaol pada Peta Geologi Lembar Sidikalang (Aldiss dkk, 1983).
Gambar 3. Outcrop piroklastik jatuhan lapuk di pinggir Jalan Raya Tigaras.

Gambar 4. Outcrop lava andesite (tepat berada di seberang outcrop piroklastik jatuhan).

Tak jauh dari tempat tersebut, terdapat tugu kuda yang menjulang dengan view indah Danau Toba di belakangnya. Pada titik ini dapat dilakukan pengamatan geomorfologi dengan jelas, terlihat adanya kaldera, dinding kaldera, pulau resurgent (Samosir), dan Blok Parapat Graben yang lahir pada letusan Toba fase Youngest Toba Tuff (YTT ; 0,074 jt tahun silam). Lahirnya blok ini sejalan dengan terbentuknya sesar normal pada kawasan selatan Kaldera Toba yang sebagian besar diselimuti oleh tuff dari fase Oldest Toba Tuff (OTT ; 0,84 jt tahun silam) dan YTT.
Gambar 5. Kawasan Tugu Kuda Tigaras.

Gambar 6. Hasil pengamatan geomorfologi dari Tuga Kuda Tigaras.

Perjalanan terus berlanjut menuruni tepian dinding kaldera, dan akhirnya sampai di Hotel Garoga. Waktu menunjukkan pukul 16:30 WIB, saya mengambil inisiatif langsung mencemburkan diri ke Danau Toba yang tepat berada di belakang hotel sembari bersantai menikmati airnya yang dingin. Pada bagian pinggir danau terdapat banyak batuan beku berukuran kerikil-bongkah yang disusun membentuk pembatas. Sebagian besar batuannya sedang mengalami pelapukan biologis akibat ditumbuhi bryophyta.
Gambar 7. Pemandangan Danau Toba dari belakang Hotel Garoga Tigaras, Simalungun, Sumatera Utara.

Meskipun demikian, saya tetap dapat menemukan sebuah batu seukuran hand specimen dalam kondisi segar pada lokasi ini. Saya memperhatikan ada yang menarik pada batu yang saya temukan ini. Ada sebuah fragmen batu berwarna hijau gelap yang terisolasi dari warna abu-abu yang mendominasi pada batuan tersebut. Bentuknya menyudut dan kemungkinan asosiasi mineralnya berbeda dari sekitarnya. Dalam ilmu petrologi, fragmen ini disebut xenolith. Xenolith terbentuk ketika suatu fragmen batuan beku yang sudah terlebih dahulu terbentuk pada dinding saluran magma terkikis oleh suplai magma baru yang menerobos dari bawah. Tahap ini disebut asimilasi magma yang memungkinkan magma bereaksi dengan batuan samping. Pada kasus hand specimen yang saya temukan ini, xenolith tidak habis bereaksi dan tidak berubah fase dari solid menjadi liquid. Melalui deskripsi makroskopis, hand specimen ini teramati secara keseluruhan mempunyai dimensi 12 x 8,5 x 2,5 cm dengan fragmen xenolith berukuran 4 x 2,5 x 2,6 cm, mempunyai tekstur porfiritik dengan fenokris 60 % yang terdiri dari felspar 30 %, biotit 25 %, dan kuarsa 5 %, serta massa dasar 40 % yang berukuran sangat halus. Fragmen xenolith mempunyai warna hijau yang lebih gelap dari warna mineral di sekelilingnya, sebuah indikasi dimana xenolith tersebut berasal dari magma yang lebih basa, mafik, dan encer serta terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi daripada magma yang membentuk batuan yang melapisinya. Kondisi fisik seperti inilah yang membuat xenolith tersebut tidak berubah fase menjadi liquid saat mengalami kontak langsung dengan suplai magma baru yang cenderung lebih asam, sehingga saat xenolith tertanam dalam hand specimen ini masih dalam berbentuk utuh dan kemungkinan hanya mengalami sedikit reaksi pada bagian permukaannya. Melalui pengamatan mineralogi yang dilakukan, batuan ini termasuk dalam kelompok andesitoid.

Gambar 8. Hand specimen andesitoid dengan fragmen xenolith (ditunjukkan oleh lingkaran merah).

Gambar 9. Proses asimilasi magma yang dapat menjelaskan kehadiran fragmen xenolith pada tubuh batuan beku (Raymond, 2002).

Keesokan harinya, saya melanjutkan perjalanan ke Geosite Sipiso-piso, salah satu dari enam belas geosite yang ada pada Geopark Kaldera Toba. Saya mengunjungi daerah ini untuk melihat langsung berbagai keanekaragaman geologi yang pernah saya tulis pada konten sebelumnya. Pertama, saya mengunjungi Gunung Sipiso-piso dan outcrop lavanya yang berada pada kaki gunung tersebut. Gunung ini terbentuk pasca letusan toba fase YTT (< 0,074 jt tahun) dengan produk didominasi andesite.

Gambar 10. Gunung Sipiso-piso dan outcrop andesite yang sebagian sudah mengalami pengerukan akibat aktivitas pertambangan.

Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan ke air terjun Sipiso-piso. Pada lokasi ini tergambar jelas singkapan bebatuan yang sangat tua berusia Carboniferous-Permian (320-280 jt tahun) yang menyusun dinding air terjunnya dimana batuan tersebut dahulu terbentuk jauh di belahan bumi bagian selatan sebagai suatu endapan sedimen glasial yang merupakan bagian dari fragmen Benua Gondwana, kemudian terbawa puluhan ribu kilometer oleh suatu peristiwa tektonik lempeng selama kurun ratusan juta tahun hingga menjadi salah satu batuan dasar penyusun Mikrokontinen Sibumasu, salah satu dari tiga mikrokontinen penyusun Pulau Sumatera. Batuannya berjenis meta-pebbly mudstone yang sempat terkubur jauh di bawah permukaan sebelum terjadinya erupsi dahsyat Toba. Runtuhnya tubuh Gunung Toba membuat batuan ini dapat tersingkap ke permukaan.
Gambar 11. Air terjun Sipiso-piso dengan susunan batuan meta-pebbly mudstone berusia Permo-Karbon.

Gambar 12. Mikrokontinen Sibumasu, blok penyusun Sumatera bagian timur yang tersusun oleh batuan dasar hasil endapan glasial (Ridd, 2015).


 Sayangnya di akhir perjalanan saya belum sempat mengambil hand specimen andesite dari Gunung Sipiso-piso dan meta-pebbly mudstone berusia sangat tua yang menyusun dinding Air Terjun Sipiso-piso, selain karena aksesnya yang sulit, saya juga tidak membawa palu geologi. Saya hanya berhasil membawa hand specimen andesitoid dengan fragmen xenolith yang saya temukan di belakang Hotel Garoga. Mungkin lain waktu saya akan kembali ke tempat ini dengan berbagai cerita dan temuan yang berbeda. Untuk trip selanjutnya, saya berharap bisa menemukan fiamme, ignimbrit atau mungkin batu gamping dari Formasi Sibaganding (batuan penyusun Situs Batu Gantung) yang bisa dibawa pulang. 

Sumber:
-Aldiss dkk. (1983). Peta Geologi Lembar Sidikalang, Sumatra, Skala 1: 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi: Bandung.
-Chesner, C. A. & Rose, W. I. (1991). Stratigraphy of The Toba tuffs and the evolution of the Toba caldera complex, Sumatra, Indonesia. Bulletin of Volcanology 53: 343-356.
-Raymond, L.A. 2002. Petrology : The Study of Igneous, Sedimentary, and Metamorphic Rocks : 2nd Edition. McGraw-Hill : USA.
-Ridd, F. M. (2015). Should Sibumasu be renamed Sibuma? The case for a discrete Gondwana-derived block embracing western Myanmar, upper Peninsular Thailand and NE Sumatra. Journal of the Geological Society, 173, 249-264, 6 Oktober 2015, https://doi.org/10.1144/jgs2015-065.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Emas di Belantara Hutan Banurea, Sisa Gunung Api Purba yang Terlupakan

Sibayak dan Segala Kenangannya: Sepenggal Kisah Mengenai Kaldera Singkut.

Catatan Perjalanan 21-25 Desember 2015: Erupsi Eksplosif Maninjau Purba