Emas di Belantara Hutan Banurea, Sisa Gunung Api Purba yang Terlupakan


            Dewasa ini, investasi emas menjadi salah satu opsi primadona dalam pengelolaan ekonomi masyarakat di Indonesia. Grafik harga emas yang didominasi tren peningkatan dalam 7 tahun terakhir menjadi alasan tersendiri bagi para investor emas dalam memilih opsi ini. Harga emas yang tinggi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti nilai tukar US Dollar terhadap Rupiah, produksi emas dunia, permintaan industri perhiasan, jumlah cadangan emas di bank sentral, dsb.
            Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan produksi emas terbesar di dunia. Produksi emas yang besar ini sejalan dengan besarnya potensi bahan galian emas di Indonesia. Hal tidak terlepas dari kondisi geologinya yang sangat kompleks. Variasi proses geologi, tatanan tektonik, dan lithologi dari tiap lokasi memberikan artian tersendiri dalam eksplorasi mineral. Emas yang hadir di alam umumnya terasosiasi dengan mineral lain. Penemuan lokasi dan perhitungan besar kecilnya potensi bahan galian emas di suatu wilayah dapat ditentukan oleh seorang ahli geologi.
Gambar 1. Sampel batuan mengandung emas dari Desa Banurea, Kecamatan Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan (Kelompok Penyelidikan Mineral Pusat Sumber Daya Geologi, 2009).

Sebaran emas di Indonesia mempunyai kadar yang variatif, masing-masing wilayah mempunyai ciri khas tipe endapan bijih yang berbeda-beda. Pada kesempatan kali ini saya akan menceritakan tentang potensi bahan galian emas yang ada di belantara hutan provinsi kita tercinta, yakni Sumatera Utara, tepatnya berada di Desa Banurea, Kecamatan Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan. Kawasan Banurea disusun oleh perbukitan terjal dengan hutan yang cukup lebat.
Gambar 2. Lokasi prospek mineralisasi emas di wilayah Banurea, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara dalam citra Google Earth.

Kawasan ini terpetakan dalam Peta Geologi Lembar Sidikalang (Aldiss dkk., 1983) sebagai Formasi Gunung Api Dolok Pinapan dengan lithologi utama berupa andesit dan tuf dasitik berumur Miosen Tengah (16-14 jt tahun), sebuah indikasi dimana pada umur tersebut terdapat gunung api aktif di Banurea. Produk vulkanik Pinapan mempunyai tekstur porfiritik teridentifikasi mengandung mineral kuarsa, plagioklas, dan biotit yang tertanam dalam massadasar gelas kriptokristalin.
Gambar 3. Peta Geologi Lembar Sidikalang (Aldiss dkk., 1983), kawasan mineralisasi emas di Banurea terpetakan sebagai Formasi Gunung Api Dolok Pinapan berumur Miosen Tengah dengan lithologi berupa andesit dan tuf dasitik.

Gambar 4. Hasil pengamatan mikroskopis produk Gunung Api Dolok Pinapan yang teridentifikasi mengandung kuarsa, plagioklas, dan biotit dengan massadasar gelas kriptokristalin (Kelompok Penyelidikan Mineral Pusat Sumber Daya Geologi, 2009).

Kondisi wilayah Banurea yang berbukit-bukit merupakan hasil dari sisa morfologi gunung api purba yang telah tererosi. Penelitian lebih lanjut di kawasan ini dilakukan oleh Tim Eksplorasi Mineral Pusat Sumber Daya Geologi pada tahun 2009. Observasi lapangan yang dilakukan menghasilkan adanya temuan satuan intrusi hipabisal andesit teralterasi yang seusia dengan produk Gunung Api Dolok Pinapan.
Gambar 5. Singkapan batuan terobosan teralterasi yang menunjukkan adanya kehadiran urat kuarsa di kawasan Banurea (Kelompok Penyelidikan Mineral Pusat Sumber Daya Geologi, 2009).

Alterasi sendiri merupakan proses perubahan kimia pada mineral yang diakibatkan oleh adanya interaksi fluida hidrothermal dengan batuan yang dilaluinya melalui media rekahan. Fluida hidrothermal ini dihasilkan dari reaksi fluida dengan magma, dimana sumber utamanya dapat berasal dari sisa pendinginan magma itu sendiri ataupun fluida lainnya, seperti fluida meteorik, fluida formasi, fluida metamorfik, fluida connate, dsb.
Gambar 6. Skema alterasi hidrothermal yang dikontrol oleh 4 faktor utama yakni sumber fluida, permeabilitas batuan, heat source, dan zona presipitasi mineral.

Adanya fakta bahwa kawasan ini dahulu merupakan gunung api aktif, ditambah dengan kehadiran tubuh intrusi di dekatnya memungkinkan untuk terjadinya alterasi. Di sisi lain, kawasan Banurea juga memiliki zona sesar yang teridentifikasi melalui pengamatan pola kelurusan. Sesar-sesar ini menciptakan permeabilitas pada batuan, sehingga memudahkan terjadinya alterasi hidrothermal.
Gambar 7. Hasil pemetaan geologi dan interpretasi pola kelurusan di kawasan Banurea oleh Kelompok Penyelidikan Mineral Pusat Sumber Daya Geologi.

Setelah proses alterasi terjadi, fluida hidrothermal ini kemudian akan mengendapkan mineral-mineral yang dibawanya dan terakumulasi membentuk endapan mineral. Pengamatan lapangan di Banurea memperlihatkan adanya kehadiran alterasi tipe argilik, filik, dan silisik. Alterasi argilik ditandai dengan himpunan mineral lempung seperti kaolinit, smektit, dan illit yang dihasilkan oleh fluida hidrothermal bertemperatur <200°C dan pH netral. Alterasi filik ditandai dengan himpunan mineral kuarsa, serisit, dan pirit pada kondisi fluida hidrothermal bertemperatur 209-305 °C dan pH asam. Sedangkan pada alterasi silisik ditandai dengan sebaran mineral kuarsa dan kehadiran urat kuarsa dengan tren NE-SW.
Gambar 8. Peta zona mineralisasi di kawasan Banurea, terdiri dari zona argilik (ungu), filik (hijau), silisik (merah), urat kuarsa dengan tren NE-SW (garis hitam tebal), dan struktur sesar dengan tren NW-SE (garis hitam).

Analisis laboratorium kemudian dilakukan untuk mengidentifikasi kandungan bijih pada tiap tipe alterasi ini, hasilnya didapatkan bahwa kandungan bijih emas terbesar berada pada zona alterasi tipe argilik-silisik mengikuti pola sebaran urat kuarsa, bijih emas ini berasosiasi dengan mineral bijih lainnya seperti pirit, kalkopirit, bornit, dan krisokola. Kadar emas pada kawasan ini berkisar antara 5 sampai 1087 ppb yang artinya cukup prospektif untuk ditambang. Sayangnya Banurea termasuk dalam kawasan hutan lindung, sehingga sulit untuk dilakukan penambangan secara konvensional di permukaan. Sejauh ini kegiatan penambangan yang dilakukan di tempat ini hanya sebatas penambangan tradisional oleh masyarakat. Pusat Sumber Daya Geologi pada tahun 2009 menyarankan agar kawasan ini dipersiapkan sebagai Wilayah Pencadangan Negara.
Estimasi cadangan emas dan mineral bijih lainnya di tempat ini dinilai cukup besar dengan melihat luasnya sebaran zona alterasi, namun sejauh ini belum dapat dipastikan nilainya dengan besaran angka. Investigasi lapangan yang dilakukan mengindikasikan bahwa mineralisasi di Banurea ini secara umum termasuk tipe ephitermal, dimana mineral terasosiasi di sekitar permukaan pada kedalaman <1,5 km.
Gambar 9. Skema sistem alterasi hidrothermal dengan tipe endapan pada suatu kerucut gunung api andesitik. Endapan epithermal cenderung terbentuk di permukaan dengan kedalaman < 1,5 km.

Baiklah, sekian dulu tulisan saya kali ini. Hal-hal yang perlu digaris bawahi adalah tidak di semua gunung api purba dapat ditemui endapan mineral bijih dan tidak semua proses alterasi juga dapat menghasilkan endapan mineral. Sebagai orang asli Sumatera Utara saya sangat bangga dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh provinsi kita ini. Meskipun bahan galian emas di kawasan Banurea belum dapat dimanfaatkan secara maksimal, setidaknya dengan kehadiran para penambang tradisional di kawasan ini dapat membantu tergeraknya roda perekonomian bagi masyarakat lokal.

Sumber:
-Aldiss D.T., Whandoyo R., Sjaefudien A.G, Kusjono, 1983; Peta Geologi Lembar Sidikalang, Sumatra, Skala 1: 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
-Pirajno, F. 1992. Hydrothermal Mineral Deposits, Principles and Fundamental Concepts for
the Exploration Geologist, Springer-Verlag Berlin: Heidelberg.
-Tim Eksplorasi Umum Pusat Sumber Daya Geologi, 2009; Laporan eksplorasi umum logam langka di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatra Utara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sibayak dan Segala Kenangannya: Sepenggal Kisah Mengenai Kaldera Singkut.

Catatan Perjalanan 21-25 Desember 2015: Erupsi Eksplosif Maninjau Purba